Kondisi yang kompleks ini menurut Kyai Masdar belum pernah terpikirkan beberapa ratus, bahkan seribu tahun yang lalu ketika Fiqh Haji dirumuskan dan dibakukan sampai sekarang. Sudah sewajarnya kondisi tidak wajar ini menuntut para ulama zaman ini untuk menegaskan kembali status dan maksud hadist wukuf di Arafah dalam pelaksanaan haji. Tentu bukan berarti ulama dulu tidak mampu memberikan solusi atau berijtihad, melainkan masalah yang menuntut ijtihad belum muncul. Al-hajju Arafah dimaknai oleh Kiai Masdar sebagai tempat wukuf, bukan waktu wukuf sehingga terjemahan hadits yang tepat, Haji itu di padang Arafah. Adapun waktu pelaksanaan wukuf di hari Arafah masuk kategori waktu istimewa atau waktu yang afdhal.
Jauh sebelum masa Pandemi, Kiai Masdar telah melontarkan masalah besar haji tersebut di tahun 1990-an dan pemikiran hajinya belum tersebar luas. Mengingat haji dianggap masalah serius, pada tahun 2010, media online Mesir memuat opini singkat seorang Penulis Mesir Jamal Al-Banna; adik kandung Pendiri Ikhwanul Muslimin/IM Hasan Al-Banna tentang mudlarat (bahaya) yang terjadi akibat ledakan jumlah jama’ah ibadah haji. Dalam paparannya, Ia mengaku mengutip secara langsung gagasan Kyai Masdar dan mengapresiasinya.
Jamal Al-Banna menyebut telah mendapatkan tulisan tentang gagasan haji Kyai Masdar dari beberapa rekannya di Saudi Arabia. Selain itu, Ia menyebut adanya beberapa peneliti Mesir yang juga menulis perihal waktu haji namun tidak tersosialisasikan setelah dianggap tidak sama dengan ajaran pada umumnya. Jamal Al-Banna menilai pemikiran yang ditulis oleh orang-orang Mesir tersebut masih bersifat sepotong-sepotang (adhoc) dan tidak tambal sulam (incremental) sebagaimana gagasan solutif kyai Masdar yang juga terasa menggugah kesadaran sejarah umat Islam.
Artikel ini Telah terbit di https://islamkaffah.id/tawaran-solusi-antrian-haji-kyai-masdar-masuki-dunia-arab/
Editor : Moch Fahmi Amiruddin